Review Life is Strange: Double Exposure – Antara Emosional dan Nanggung

Life is Strange udah jadi salah satu franchise game naratif yang ikonik banget. Game ini dikenal dengan ceritanya yang emosional, pilihan-pilihan pemain yang ngaruh ke alur, dan tema-tema relatable yang bikin kita mikir. Dari cerita Max Caulfield yang bisa memanipulasi waktu sampai konflik-konflik personal yang bikin baper, seri ini sukses ngasih pengalaman main yang terasa kayak nonton film interaktif.

Sekarang kami mendapatkan review seri terbarunya, Life is Strange: Double Exposure. Gameplay-nya masih pakai formula klasik—eksplorasi, dialog dengan pilihan, dan teka-teki—tapi kali ini dibumbui dengan mekanik baru dan visual yang lebih cakep. Sebagai entri terbaru, game ini mau tetap ngejaga feel khas Life is Strange, sambil kasih sesuatu yang fresh buat pemain lama dan baru. Tapi, apakah semua ini cukup buat memenuhi ekspektasi fans? Mari simak!

Cerita yang Nanggung

Life is Strange: Double Exposure menghadirkan Max Caulfield lagi, kali ini sebagai fotografer sukses yang jadi seniman tamu di sebuah universitas ternama di Vermont. Bertahun-tahun setelah peristiwa di game pertama, Max terjebak dalam misteri baru saat temannya, Safi, ditemukan meninggal dalam kondisi yang mencurigakan. Kejadian ini memicu trauma yang membangkitkan kembali kekuatan Max—tapi kali ini, ia bisa melompat di antara dua garis waktu: satu di mana Safi masih hidup, dan satu lagi di mana dia sudah meninggal.

Oke, mari mulai dari yang bagus: bagian emosional game ini bisa bikin baper kalau lagi on point. Ada beberapa adegan yang benar-benar nyentuh, terutama berkat pengisi suara yang top-notch, kayak Hannah Telle dan Brian Landis Folkins di Episode 3. Ditambah lagi, soundtrack-nya dari Tessa Rose Jackson benar-benar wajib masuk playlist.

Game ini juga membahas tema berat seperti trauma dan kesedihan, dan kadang berhasil menyampaikan pesan yang dalam. Puncak ceritanya ada di Episode 3, dengan adegan konfrontasi karakter yang bikin merinding. Tapi sayangnya, setelah itu alurnya mulai terasa aneh dan kurang kena.

Ceritanya seru, penuh misteri dan emosi tentang trauma, kesedihan, dan gimana cara move on. Tapi ya, ada beberapa bagian yang terasa nggak nyambung, baik dari alur cerita maupun sikap karakternya. Selain itu, game ini kayak bingung mau jadi apa—melanjutkan cerita Max atau bikin cerita baru. Hasilnya, keduanya terasa kurang maksimal.

Gameplay yang Kurang Impactful

Gameplay-nya intinya bikin kamu jadi detektif supranatural yang bolak-balik antara dua timeline buat memecahkan misteri kematian Safi. Kamu bisa bawa benda dari satu timeline ke yang lain buat menyelesaikan teka-teki—misalnya, ambil tangga dari timeline di mana Safi mati, terus pakai di timeline di mana dia hidup. Walaupun konsep ini nggak terlalu baru, tetap terasa menarik.

Formula klasik Life is Strange masih ada: jalan-jalan, periksa barang-barang, dan bikin pilihan lewat dialog. Tapi kali ini, pilihan-pilihannya nggak seberat game sebelumnya, jadi dampaknya nggak terlalu terasa. Pilihan dalam game ini juga kurang impactful. Kalau di game sebelumnya keputusanmu bisa menentukan hidup mati karakter, di sini hasilnya kebanyakan mirip-mirip, termasuk pilihan akhir yang seharusnya jadi momen besar.

Mekanik timeline-hopping sebenarnya seru dan kasih peluang buat teka-teki kreatif, tapi cerita punya banyak lubang dan beberapa keputusan karakter terasa nggak masuk akal. Ending-nya juga lebih terasa kayak cliffhanger daripada penutup yang memuaskan.

Visual Cakep, Audio Biasa Aja

Dari segi visual, Double Exposure adalah yang paling cakep di seri ini. Animasi karakter super detail—kamu bisa lihat ekspresi kecil kayak bibir yang digigit waktu mereka mikir atau mata yang sedikit menyipit saat ragu. Latar Vermont yang bersalju juga kelihatan keren banget.

Sayangnya, ada beberapa bug yang bikin kesel. Kadang karakternya tiba-tiba pose T di tengah adegan serius, suara dialog muncul tanpa ada karakter, atau benda interaktif tiba-tiba lenyap. Kalau lagi mulus sih, game ini benar-benar memanjakan mata. Tapi bug-bug kayak gini bikin imersi jadi berantakan. Teknisnya pun agak bermasalah, dari bug audio sampai animasi yang nge-glitch.

Kesimpulan

Setelah main Life is Strange: Double Exposure, rasanya kayak makan di restoran di mana beberapa menu enak banget, tapi ada juga yang bikin kamu bertanya-tanya, “Ini serius masakannya?” Buat pemain baru, game ini tetap asik. Ada banyak momen keren, cerita yang emosional, dan misteri yang cukup bikin penasaran. Beberapa adegannya bener-bener memorable, tapi ada juga bagian yang bikin frustrasi.

Bukan game jelek, tapi rasanya ini kesempatan yang terbuang buat bikin sesuatu yang benar-benar spesial. Kalau kamu penggemar Life is Strange, game ini tetap layak dicoba—tapi jangan berharap sesuatu yang sehebat game-game sebelumnya.

Life is Strange: Double Exposure sudah resmi dirilis dan bisa dimainkan untuk PlayStation 5, Xbox Series, Nintendo Switch, dan PC. Kamu bisa kunjungi situs resminya DI SINI untuk berbagai informasi lebih lanjut.

Pastikan untuk mengikuti perkembangan berita game lainnya di Gamerwk.


Hi guys, kami akhirnya sudah punya akun Twitter dan YouTube resmi! Langsung saja follow:

 

 




Jangan lupa untuk cek channel TikTok kami!

@gamerwk_id

The Review

Life is Strange: Double Exposure

PROS

  • Penampilan karakter yang kuat, terutama Hannah Telle sebagai Max
  • Animasi wajah dan motion capture yang keren banget
  • Mekanik timeline-hopping bikin teka-teki jadi lebih seru
  • Visual yang jauh lebih bagus dibanding game sebelumnya
  • Momen-momen emosional yang benar-benar ngena

CONS

  • Pilihan pemain hampir nggak ngaruh ke jalan cerita
  • Banyak masalah teknis (bug audio, glitch animasi)
  • Ending yang terlalu mendadak, lebih terasa kayak teaser untuk sekuel

Artikel ini Rangkuman Dari Berita : https://gamerwk.com/review-life-is-strange-double-exposure-antara-emosional-dan-nanggung/